Skip to main content

Day 30: My Childhood Ambition

Write about your childhood ambition.

Image by Vecstock on Freepik

Sejujurnya, aku tidak ingat mimpi apa yang kutulis di katalog kelulusan SD. Tapi ada satu mimpi yang pernah muncul di benakku saat SMA. Aku pernah ingin menjadi seorang pianis.

Aku mulai belajar musik sejak SD, saat itu, aku memainkan organ. Aku mempelajari adanya konsep kunci-kunci dasar yang dapat kuhapalkan. Tapi dengan belajar dari kecil, bukan berarti aku menjadi seorang prodigy. Udah nggak pandai, masih malas pula kalo disuruh latihan.

Kemudian beranjak SMA, aku mulai les piano dan memainkan beberapa lagu yang lebih sulit dari pada yang kumainkan saat SD. Aku juga melalui tes ABRSM (Associated Board of the Royal Schools of Music) grade 3 saat itu. Masih belum terlalu jauh, tapi melalui tes ABRSM memberiku sedikit trauma dengan musik.

Aku lulus ujian dengan nilai merit, yaitu nilai dibawah distinction. Tapi untuk meraih nilai itu aku harus mengorbankan banyak hal. Banyak waktu yang terpakai karena aku over-worry, latihan berulang-ulang, hingga izin untuk tidak ikut tes mid-semester di sekolah. And the worst of it all, I was still not happy with what I got: merit. Karena untuk dapat nilai itu aja aku udah ngos-ngosan.

Peristiwa kedua, adalah ketika aku diminta untuk tampil di sebuah acara musik di salah satu hotel di Semarang. Aku menjadi salah satu peserta yang tampil di acara itu. Aku melalui banyak latihan lagu “Fur Elise” yang kecepatannya-pun harus sesuai dengan ketukan nada di metronome. Salah-salah, aku harus mengulang bagian yang sama untuk meyakinkan bahwa aku nggak main terlalu cepat, atau terlalu lambat. Harus pas.

Setelah masa latihan yang cukup ketat berlalu, akhirnya hari untuk tampil telah tiba. Aku maju ke panggung dan melantunkan “Fur Elise” dengan mengandalkan ingatan di kepala. Aku sangat gugup, but I did it till the end nevertheless. Kemudian ditutup dengan muka pucatku karena ada nada-nada yang salah telah kumainkan di bagian akhir. Aku buru-buru berdiri dan membungkukkan badan pada penonton (pendengar?) sebagai penghormatan karena telah mendengarkan nada-nada salah yang kumainkan sebelum turun dari panggung.

Sekali lagi, aku merasa ngos-ngosan juga untuk latihan demi penampilan hari itu, dan ternyata masih salah-salah juga penampilanku. Nggak sempurna.

Mimpiku untuk menjadi pianis perlahan terkubur. Sebagian karena aku telah menyadari bahwa aku tidak memiliki kapasitas untuk meraih mimpi itu (secara skill, aku sudah tertinggal jauh dibanding anak-anak seumuranku yang sudah menggeluti piano sejak dini), dan sebagian lainnya karena aku tahu untuk mengejar ketertinggalan itu aku membutuhkan banyak sekali resources yang mendukung (baik secara finansial maupun waktu). Akhirnya, aku memutuskan untuk melupakan mimpi itu.

Mungkin bukan mimpi masa kecil banget, karena mimpi ini ada saat aku sudah bisa lebih mikir untuk jangka panjang. Sepertinya dari kecil aku nggak pernah punya satu mimpi yang sama. Jadi aku nggak terlalu sedih juga ketika menyadari mimpi menjadi pianis harus pupus.

But it’s okay. Kita sebagai manusia pasti mengalami perubahan. Baik dari cara pikir, kesukaan, maupun mimpi. Menurutku, yang terpenting adalah apakah kita tahu batas untuk memperjuangkan sesuatu itu. Konyol namanya jika seseorang terus menerus mengejar sesuatu yang dicintai tanpa memahami kapasitas dirinya sendiri. Ingat, passion nggak bisa dimakan. Beri batas waktu kalo ingin go all-in dalam suatu hal. Nggak mau kan, seumur hidup hanya mengejar satu hal tertentu yang nggak pasti?

Jadi, apa mimpiku saat ini? Yang sekiranya sesuai dengan kapasitasku saat ini? Sejujurnya, aku belum tahu. Aku berharap suatu hari nanti, aku menyadari satu atau dua hal yang ingin aku raih. Dan aku berharap, ketika hari itu tiba, aku sudah punya resources yang cukup untuk meraihnya.

Wow, sudah selesai tantangan menulis selama 30 hari. Terima kasih untuk kamu yang sudah meluangkan waktu untuk membuka blog ini dan membaca tulisanku.

Aku mohon pamit dulu. Semoga dalam waktu dekat aku bisa mulai posting-posting lagi di blog ini. Ikuti terus, ya. Ada banyak yang pengen aku tumpahkan dalam tulisan. Harapannya setelah latihan nulis 30 hari, aku sudah nggak terlalu terintimidasi dengan perfeksionismeku.

Sampai ketemu di postingan berikutnya. Semoga kamu sehat selalu~

*membungkukkan badan*

*menutup keyboard*


*.*.*

Jika kamu mau tahu lebih lanjut tentang 30 Day Writing Challenge yang aku jalani saat ini, kamu bisa klik link ini ya.






Comments

Popular posts from this blog

Suka Duka Anak Kos

Anak kos. Pasti banyak diatara kamu yang ngekos di kota atau negeri lain. Entah untuk SMA, atau perguruan tinggi. Hari ini, aku mau membahas suka-dukaku jadi mahasiswi di negeri lain, dalam hal tinggal sebagai anak kos. Untuk memulainya, kuceritakan terlebih dahulu gambaran tentang kos-kosan ku. Aku tinggal di sebuah apartemen di daerah Novena. Sekitar 8-10 menit berjalan kaki dari stasiun MRT. Disini, aku menyewa sebuah kamar untuk kutinggali sendiri. Tidak ada tuan rumah, hanya ada teman-teman serumah. Tapi sekitar tiga hari sekali, akan ada pembantu yang membersihkan rumah dan mengurus cucian baju. Nah, teman-teman serumahku ini ada yang berasal dari sesama Indonesia, ada juga yang dari Filipina. Karena akomodasi di Singapura lumayan mahal, apalagi daerah Novena, jadi aku menyewa kamar yang tidak ada WC-nya. Alias berbagi WC dengan teman serumah. Nah, mari kita mulai. Lagi asyik-asyiknya ngerjain tugas, tiba-tiba mesin cucinya berbunyi. Menandakan bahwa cucian telah selesai d

Day 29: Who and What Adds Meaning

Who and what adds meaning to your life. Agustus, 2023 Tentunya sulit untuk menunjuk hanya satu orang saja. Orang-orang disekitarku selalu menambah meaning dalam hidupku. Sebagian besar datang dan pergi, terkadang kembali, kemudian hilang lagi. Apalagi semakin dewasa dan bertambah usia, sepertinya teman-teman semakin punya kesibukan. Termasuk aku sendiri. Jadi ujung-ujungnya hanya menyapa tipis-tipis di media sosial. Tapi nggak apa-apa, meskipun begitu, aku percaya setiap orang memiliki “fungsi”-nya masing-masing dalam hidupku. Mungkin aku nggak sadar makna kehadirannya pada waktu itu dan baru ngeh setelah beberapa tahun berlalu, atau mungkin saat ini sudah nggak ngobrol, tapi masih terkadang kontakan sedikit-sedikit. Ada banyak faktor yang menentukan peran seseorang dalam hidupku. Jadi, jika ditanya ‘siapa’, tentunya tergantung dari musim hidup yang sedang kujalani. Setiap musim, pemerannya berbeda-beda. Aku hampir selalu belajar sesuatu dari setiap orang yang kutemui, dan sedikit demi

Terus dan terus.

Kemana hidup ini harus kubawa? Kekecewaan datang dan pergi. Begitu pula kecintaan. Yang mana yang harus kupercaya? Ada keputusan, ada ketakutan. Ada komitmen, ada kebingungan. Dimana ada harapan, disitu ada kekecewaan. Dimana ada tekad, disitu ada godaan. Dimana ada kekecewaan, disitu ada harapan. Akankah aku bertahan? Berapa lama harus aku bertahan? Berapa lama harus aku percaya? Tujuh kali tujuh ratus tujuh puluh tujuh? Sampai jelas. Sampai mati dan hidup lagi. Sampai nyata.